Mayday sudah berlalu, tidak ada salahnya menulis
persoalan mengenai buruh. Bagi buruh Indonesia dan Serikat Buruh, PHK karyawan (massal) adalah momok yang harus dilawan dengan sekuat tenaga,
pikiran dan air mata. Bagi buruh, yang ladang penghidupannya sebagian besar
dari tempatnya bekerja, tidak mengharapkan PHK itu terjadi dan menimpa dirinya.
Jikapun terjadi PHK karyawan massal, buruh dalam naungan serikat buruh akan bersatu dan
berusaha sekuat tenaga, agar PHK tidak terjadi dan berharap dapat dipekerjakan
kembali. Akibatnya timbul aksi demo menentang keputusan PHK tersebut.
Proses penyelesaian PHK biasanya berlangsung lama dan dalam
kurun waktu yang lama, minimal 4 bulan. Dalam kurun waktu tersebut, misal : 4
bulan itu, biasanya akan di habiskan buruh dan serikat buruh yang menaunginya,
untuk konsolidasi, berunding, berorasi dan ujung-ujungnya menghujat, mencaci
–maki pemilik perusahan, Negara asal perusahaan tersebut serta manajemen perusahaan itu. Ekses dari PHK
itu juga akan menghasilkan kelompok local yang pro dan kontra. Kelompok kontra PHK di wakili para buruh
dan serikat buruhnya, biasanya mereka dengan bangga menyebut dirinya sebagai “pejuang”. Kelompok Kontra PHK ini nantinya oleh
“pengusaha yang mem-PHK” akan di “black list” agar tidak diterima
bekerja lagi di perusahaan lain. Sedangkan
kelompok pro PHK, diwakili para buruh
yang tidak tergabung dalam serikat buruh,
biasanya ada dalam jajaran manajemen perusahaan dan sering dianggap
sebagai “pecundang sejati” oleh para
buruh/serikat buruh. Dan kelompok Pro ini biasanya tidak masuk dalam daftar “black list”.
Sayang sekali, waktu (proses
penyelesaian kasus PHK) yang cukup berharga itu , seharusnya bisa digunakan
untuk melahirkan wirausahawan sukses/entrepreneur baru, hanya di gunakan untuk
menguras energy, hujat menghujat, ancam
mengancam, berorasi, berdemo, menghitung
berapa besaran pesangon yang akan diterima, akankan di pekerjakan kembali di
perusahaan lama atau akankah dapat bekerja lagi di perusahaan lain. Seharusnya
di struktur organisasi Serikat buruh ada divisi
entrepreneur yang didalamnya menangani “entrepreneur
coaching clinic”, maka ketika timbul masalah PHK massal yang tentunya akan melahirkan “ratusan pengangguran baru”, divisi ini akan hadir menyiapkan
mental, mengadakan pelatihan kewirausahawan para korban PHK ini menuju dunianya yang baru,
yang tentunya bersinergi dengan divisi advokasi di serikat buruh tersebut. Hal ini penting untuk di lakukan, karena
keputusan PHK massal biasanya bersifat final tidak bisa diganggu gugat, juga mengingat
sebagian korban PHK, sejatinya mereka ini telah terbiasa bekerja untuk orang
lain, dengan adanya divisi entrepreneur, bagaimana mengubah mindset dan paradigma lama menjadi pribadi yang siap menerima keputusan PHK dan
bagaimana mengelola pesangon yang diterima dengan cermat.
Korban PHK, jika pengusahanya berbaik hati, akan menerima
pesangon wajar, tergantung proses negosiasi win
win solution kedua belah pihak, antara pengusaha dan buruh yang diwakili
oleh serikat buruh. Dan korban PHK ini dalam waktu singkat akan menjadi OKB (orang kaya baru) yang hidup konsumtif dan dalam waktu teramat
cepat uang pesangonpun yang diterima
akan habis pula.
Maka sangat diperlukan suatu divisi entrepreneur selain
divisi advokasi dan divisi-divisi lain dalam struktur organisasi serikat buruh.
Boleh memperjuangkan hak-hak buruh yang terabaikan, silakan mengadvokasi
membela para buruh anggotanya yang di PHK “all out “ habis-habisan, tetapi
alangkah baiknya peduli akan masa depan anggotnya selepas di PHK , memberi
pendampingan pelatihan berbisnis, pelatihan berwirausaha bagi para anggotanya, yang
secara tidak langsung menyiapkan anggotanya untuk menjadi pengusaha sukses Indonesia, bukan
selamanya menjadi buruh. Karena jika menjadi pengusaha, tentunya akan membuka
lapangan kerja baru.
Serikat Buruh, apakah selamanya mengharapkan anggotanya
menjadi buruh? Sudah saatnya berubah dan mengubah mindset lama. Buruh yang
tidak sekedar buruh, tapi buruh yang siap menjadi pengusaha.