Buruh pabrik di Indonesia yang rajin bisa dinilai
dari prosentase kehadirannya. Dan prosentase kehadiran bisa menjadi masalah utama yang dihadapi buruh
wanita, ketika sudah menikah dan mempunyai anak. Prosentase kehadirannya pasti
akan turun. Buruh wanita atau ibu bekerja, yang masih aktif bekerja memang tidak bisa melepaskan
status dirinyan sebagai seorang ibu rumah tangga. Bisa dikatakan buruh wanita bisa
berprofesi ganda, sebagai buruh pabrik dan juga sebagai ibu rumah tangga.
Ketika masalah di rumah tangga
menuntut perhatian lebih, hal ini akan memaksa buruh wanita untuk tidak masuk
kerja. Dan sebenarnya masalah kesehatan anak, selalu mendapat perhatian lebih
dari para buruh wanita. Anak sakit dan masih butuh belaian perhatian sang ibu,
membuat sang buruh wanita, terpaksa untuk kesekian kalinya minta izin untuk
tidak masuk kerja. Kecuali jika di rumah ada sang nenek yang bisa membantu
menjaga sang cucu, sehingga si ibunya bisa masuk kerja. Walau nantinya di
pabrik, tidak bisa full konsentrasi bekerja. Ada juga yang anaknya dititipkan
di kampung, diasuh sama neneknya. Sehingga
membuat sang bapak dan si ibu serasa bagai pengantin baru lagi.
Berat memang tugas buruh wanita
ketika sudah berkeluarga. Di satu sisi ingin membantu penghasilan suami atau
ingin mempunyai penghasilan sendiri
(sehingga bisa beli bedak sendiri, bisa memberi orang tua dari hasil keringatnya
sendiri. Dan disisi lain sebenarnya ingin focus kepada pekerjaan rumah tangga
dan mengurus anak. Mau resign sayang, gaji yang diterima sudah diatas
rata-rata. Tidak resign, malah ingin di phk, gara-gara sering mangkir dari
pekerjaan, dengan harapan dapat pesangon.
Tapi ketika di rumah sudah harus
menuntut perhatian lebih, resign/pengunduran diri sebagai karyawan, merupakan langkah bijak.
Perlu pembekalan ketrampilan setelah resign, sehingga bisa membuka usaha di
rumah. Bisnis rumahan jalan, pekerjaan rumah tangga bisa di handle dan kasih
sayang tidak terlantar.