Selasa, 03 Juli 2012

fakta unik Indonesia : Rambu-rambu Lalu Lintas Hanya pajangan?


tertib lalu lintas

fakta unik Indonesia, Tertib lalu lintas biasanya berbanding lurus dengan tata kelola pemerintahan. Ibukota suatu Negara merupakan miniatur hukum suatu Negara. Cara kerja birokrasi dan penegak hukum di ibukota Negara juga miniatur Negara itu sendiri
Kesemrawutan menjadi pemandangan sehari-hari yang menjengkelkan dan juga merugikan, sehingga belum membuat nyaman semua warga.
Makin banyak pengguna motor yang melawan arus. Sebaliknya pengemudi mobil  makin nekat meski baru untuk jarak pendek.
Pertambahan jumlah kendaraan harusnya sudah bisa diprediksi dan masih dalam jangkauan pemangku kebijakan publik, namun sayang tidak serius untuk dikerjakan.
Penyebab kemacetan lalu lintas sebenarnya sering sepele. Seenaknya menyeberang, parkir atau menaikturunkan penumpang. Sehingga kemacetan tidak tidak bisa diprediksi dan akibatnya kendaraan tidak bisa bergerak.
Begitu banyak rambu lalu lintas yang setiap hari terang-terangan di langgar. Dan mengapa rambu rambu lalu lintas tersebut tidak diangkat saja, jika tidak berpengaruh dan hanya sekedar pajangan? Tidakkah si pembuat kebijakan publik justru  sedang melecehkan hukum dan peraturan yang dibuatnya sendiri?
Mengapa pembiaran itu lazim terjadi? Apa karena kepala daerah tidak rajin turun ke lapangan dan menjalankan fungsi pengawasan serta kontrol. Akibatnya praktek pungutan liar (pungli) marak dan  sebagian disetorkan kepada oknum.
Memberi layanan publik yang baik lantas diterjemahkan dengan komputerisasi tanpa mengubah mentalitas birokrasi. Hingga kini, mengurus prosedur pembuatan/perpanjangan KTP yang seharusnya gratis saja masih dimintai sejumlah uang. Atau dengan bahasa yang lebih halus “seikhlasnya”. Contoh lain yang seikhlasnya, seperti Pelayanan kesehatan di Puskesmas yang seharusnya gratis.
Atasan di birokrasi membiarkan praktek yang sudah lama itu, sebab dianggap sudah jatah pegawai atau petugas rendahan agar korupsi lebih besar atasan tak dipersoalkan bawahannya.

Sumber : tulisan ini dikutip sebagian dari “Jakarta Untuk Manusia” penulis Yonky Karman, Kompas 23 Juni 2012.