Calo Surat Tanah itu sudah kabur entah kemana, dan aku meras
berdosa telah ikut andil memberikan jalan kepadanya untuk melakukan penipuan
kepada warga masyarakat kelurahan yang dulu aku pimpin. Untungnya aku sekarang
tidak tinggal di Kelurahan A lagi, tapi tinggal di Kelurahan X yang jauh dari
kelurahan A. Apa jadinya jika aku masih tinggal di kelurahan A, pasti aku akan
mendapat dan menerima caci maki dari warga masyarakat yang menjadi korban
penipuan Calo Surat Tanah, pasti aku dan keluargaku malu karena dianggap “ikut
makan juga” uang warga yang menjadi korban penipuan Calo Surat Tanah dan yang
pasti hidupku dan hidup keluargaku tidak akan pernah merasa tenang. Aku baru
menyadari akan konsekuensi ini, “hasil kerjasama yang saling menguntungkan”
tidak seberapa yang aku dapat, tapi beban mental, perasaan bersalah dan perasaan dosa justru menghantuiku.
Jabatan lurah yang dulu pernah aku sandang hanyalah titipan
Alloh, serta amanah yang seharusnya aku jalankan dengan jujur dan
sebaik-baiknya. Ternyata niat baikku menjalankan jabatan ini tidak 100 % murni.
Aku masih terombang-ambing dalam urusan duniawi yang memabukkan. Jika aku dulu berjalan dalam koridornya
Alloh, Insya Alloh, Alloh akan mendampingiku, mengawasiku dan menuntunku.
Sekarang aku telah “tobattun nasuha’’, hanya Alloh yang tahu
aku telah bertobat. Tapi apakah warga masyarakat Kelurahan A yang dulu pernah
aku pimpin, yang menjadi korban penipuan Calo sertifikat Surat Tanah, TAHU, bahwa aku
telah bertobat! Aku sadar dan memaklumi, mereka masih marah karena akibat
kesalahanku juga. Aku tahu betapa mereka
berusaha sekuat tenaga mencari uang untuk mengurus pembuatan surat tanah. Usaha
mereka telah aku sia-siakan, aku telah terlena akan “kerjasama yang saling
menguntungkan” yang ditawarkan oleh Calo Surat Tanah.
Andaikan aku dulu “berjalan lurus” dalam mengemban jabatan
sebagai Lurah, aku pasti akan di kenang oleh warga Kelurahan A yang pernah aku
pimpin, sebagai orang yang berkepribadian baik dan menyandang nama baik!