fakta unik Indonesia, Tertib lalu lintas biasanya
berbanding lurus dengan tata kelola pemerintahan. Ibukota suatu Negara
merupakan miniatur hukum suatu Negara. Cara kerja birokrasi dan penegak hukum
di ibukota Negara juga miniatur Negara itu sendiri
Kesemrawutan menjadi pemandangan
sehari-hari yang menjengkelkan dan juga merugikan, sehingga belum membuat
nyaman semua warga.
Makin banyak pengguna motor yang
melawan arus. Sebaliknya pengemudi mobil
makin nekat meski baru untuk jarak pendek.
Pertambahan jumlah kendaraan
harusnya sudah bisa diprediksi dan masih dalam jangkauan pemangku kebijakan
publik, namun sayang tidak serius untuk dikerjakan.
Penyebab kemacetan lalu lintas sebenarnya
sering sepele. Seenaknya menyeberang, parkir atau menaikturunkan penumpang.
Sehingga kemacetan tidak tidak bisa diprediksi dan akibatnya kendaraan tidak
bisa bergerak.
Begitu banyak rambu lalu lintas
yang setiap hari terang-terangan di langgar. Dan mengapa rambu rambu lalu lintas tersebut tidak diangkat saja, jika tidak berpengaruh dan hanya sekedar pajangan? Tidakkah si
pembuat kebijakan publik justru sedang
melecehkan hukum dan peraturan yang dibuatnya sendiri?
Mengapa pembiaran itu lazim
terjadi? Apa karena kepala daerah tidak rajin turun ke lapangan dan menjalankan
fungsi pengawasan serta kontrol. Akibatnya praktek pungutan liar (pungli) marak
dan sebagian disetorkan kepada oknum.
Memberi layanan publik yang baik
lantas diterjemahkan dengan komputerisasi tanpa mengubah mentalitas birokrasi.
Hingga kini, mengurus prosedur pembuatan/perpanjangan KTP yang seharusnya gratis saja masih
dimintai sejumlah uang. Atau dengan bahasa yang lebih halus “seikhlasnya”.
Contoh lain yang seikhlasnya, seperti Pelayanan kesehatan di Puskesmas yang
seharusnya gratis.
Atasan di birokrasi membiarkan
praktek yang sudah lama itu, sebab dianggap sudah jatah pegawai atau petugas
rendahan agar korupsi lebih besar atasan tak dipersoalkan bawahannya.
Sumber : tulisan ini dikutip sebagian dari “Jakarta Untuk Manusia”
penulis Yonky Karman, Kompas 23 Juni 2012.